Kamis, 10 Desember 2009

MAFIA NOMOR INDUK PEGAWAI


Oleh :
Muhammad Taufik Azhari
(Aktivis Peduli Bangsa)
Universitas Bengkulu

Sebuah Realita yang tampak di depan mata dan berada di sekeliling kita, hanya saja mata hati terpejam membiarkan apa yang terjadi. Sebut saja Istilah mafia NIP (Nomor Induk Pegawai). Bukan rahasia lagi saat ini untuk menjadi seorang pegawai negeri harus menguras uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dengan tidak mempunyai rasa malu, mafia NIP itu datang kerumah-rumah menawari status pegawai negeri sipil dengan tarif yang sudah dipatok. Ada sumber yang didapati inisal S menyebutkan untuk lulus Tes CPNS anaknya, ia harus menjual tanah dan meminjam uang di Bank lebih kurang sebesar Rp. 80jt.
Ironisnya, mafia-mafia tersebut bisa jadi sanak saudara, famili, paman, ataupun teman. Demi uang kekeluargaan berubah menjadi penjarahan uang. Bila dulunya nepotisme terang-terangan "siapa dekat pejabat dia dekat pula dengan jabatan", namun sekarang lebih parah dari itu. Meskipun teman, sanak famili, tetangga, harus didukung pula dengan uang. Sampai kapan sindikat ini akan terus berlangsung? sementara itu, kesadaran akan masyarakat terutama para orang tua terhadap The right Man on the Right Pleace semakin memudar. Mereka tidak membiarkan anak-anaknya bersaing sehat. Orientasi masa depan yang aman dan tidak melarat membuat mereka rela menggadaikan harta dan meminjam uang dalam jumlah yang besar. Padahal, siapa yang bisa jamin dengan PNS masa depan lebih baik dan aman? yang ada malah gali lobang tutup lobang.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya lulusan "cpns suapan" semakin buruk pula keadaan birokrasi, kinerja SDM di lembaga pemerintahan. Sehingga berbuntut pada buruknya pelayanan publik. Padahal, yang menikmati pelayanan dan membutuhkan pelayanan optimal tidak lain dan tidak bukan adalah masyarakat umum, yang nyatanya kebanyakan masyarakat tersebut adalah masyarakat yang sudah terjangkit virus suap. Sehingga keadaan demikian semakin memberi gambaran bahwa mereka menggali liang kuburannya sendiri.
Dengan semakin maraknya praktek suap tersebut, pemerintah dan aparat bukannya peka dan mengambil tindakan. mereka bungkam dan membiarkan semua ini berlarut menjadi kebiasaan hingga nantinya menjadi tradisi yang bila dilanggar akan menjadi sanksi batin tersendiri. Apakah ini merupakan indikasi bahwa merekalah juga yang terlibat? Ini merupakan sindikat tingkat tinggi, tidak khayal jika persepsi di masyarakat mengatakan ini merupakan proyek pejabat daerah yang merauk keuntungan selama menjabat.
bersambung...........(edisi selanjutnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar